Meteor Telekomunikasi di awal Milenium ke 3 ini adalah telepon seluler yang pemakaiannya saat ini benar-benar telah merasuki masyarakat sejagat. Kegiatan telekomunikasi seluler ini pula yang berhasil membangun sebuah bentuk industri baru.
Melibatkan beberapa lapis disiplin keilmuan dan begitu banyak subsektor dari industri lain untuk bergabung menapak tahapan seluler berikut yang disebut generasi ketiga atau multi media mobile.
Perkembangannya begitu cepat dan menggairahkan sehingga para pemain telekomunikasi berlomba mendapatkan izin penyelenggaraan dan spektrum frekuensinya. Hal ini tidak terjadi di negara2 dengan tingkat pertumbuhan perekonomian masyarakatnya berkembang pesat, tetapi juga di Indonesia.
Kita yang sebagian besar rakyatnya masih bermimpi untuk memiliki telepon konvensional. Perburuan untuk memiliki lisensi sebagai operator seluler di Indonesia ini berlangsung sejak 4 tahun lalu. Kejadiannya makin runyam dalam suasana regulator Telekomunikasi seakan tidak tahu harus berbuat apa di sektor ini.
Jangan kaget melihat kenyataan bahwa Jakarta dan kota-kota besar di Jawa saat tahun 2001 memiliki lebih dari 5 operator ponsel, mulai analog generasi satu sampai digital generasi dua setengah.
Noraknya lagi setiap operator mengoperasikan satu sistim dari platform teknologi, tanpa ada kerjasama yang utuh dengan operator lainnya.
Di Jakarta dan Jawa Barat masih ada telepon seluler NMT- 470 oleh Mobisel dan AMPS/CDMA 800 dari Komselindo ( Di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh operator Metrosel ), keduanya lahir dari generasi analog. Terdapat juga 3 operator GSM 900, masing2 Telkomsel, Satelindo dan Excelcomindo dengan lisensi berskala Nasional.
Telah beroperasi juga saat itu GMPCS dari AceS yang roaming dengan 2 operator GSM.
Lebih seru lagi raksasa “Telkom”
mantan incumbent juga cari peruntungan dengan menggelar Telkom Mobile GSM 1800nya. Indosat sang “penjaga” pintu Sambungan Langsung Internasional ( SLI ) 001 juga tengah menggelar Indosat Multi Media Mobile 1800 juga.
Kemudian masih ada satu pendatang lagi GSM 1800 baru dengan regional di Jakarta. Menyusul beroperasi Natrindo Lippo di Jawa Timur.
Ini “prestasi” hebat bagi pertelekomunikasian di Indonesia. Sembilan operator seluler beroperasi di satu kota, praktis dengan lokasi berdiri sendiri-sendiri dengan menara yang dikerjakan sendiri-sendiri, dengan catu daya disediakan sendiri-sendiri, dengan stasiun transmisi antarstasiun yang dibangun sendiri-sendiri, dan dengan pengelolaan yang sendiri-sendiri pula.
Bila kita tengok di negara-negara lain banyak operator mengoperasikan lebih dari satu sistim dengan cara co-located, co-investment dan co-operation. Alangkah efisiennya bila hal ini juga dapat dilakukan di Indonesia.
Kita memang terlambat mengatur
hal ini mengingat dominasi operator swasta pada masa Orde Baru lalu. Namun penataan dalam bungkusan Program Telecommunication Sector Reform untuk efektivitas penyelenggaraan yang berujung pada efisiensi Nasional dan penyelenggaraan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, pada reformasi ini selayaknya mulai dipikirkan kembali.
Kekuatan Sendiri
Penggelaran bisnis mobile dipengaruhi beberapa faktor, yaitu regulasi, pasar dan tarif. Sudah bukan jamannya lagi regulasi ditempatkan sebagai faktor penentu.
Namun regulator harus selalu hadir dan kentara dalam mengarahkan arah dan gerak bisnis itu sendiri. Apalagi bila yang akan diregulasi dalam kebijakan dan pengaturannya menyangkut kehidupan dan dinamika masyarakat.
Di-negara-negara maju keberadaan regulator demikian disegani, karena pengetahuan dan kompetensi terhadap permasalahan yang diaturnya. Lembaga regulasi yang komposisinya terdiri atas sejumlah pakar dan konseptor berpengalaman luas dan berintegritas tinggi tentulah akan melahirkan visi jauh ke depan dengan seperangkat strategi yang diyakini pas dan ampuh mengantarkan "gerbong" pertelekomunikasian menjadi kekuatan pendukung nafas industri dan perdagangan.
Regulator diharapkan tidak disibukkan dengan hal-hal bersifat rutin mengeluarkan lisensi, menetapkan spektrum frekuensi, apalagi berkeliling melakukan layak uji operasi.
Dalam bidang teknologi, agaknya Indonesia boleh puas dengan posisinya sebagai user yang dari tahun ke tahun semakin lekat keterikatannya kepada vendor pemasok teknologi.
Beruntung pasar seluler di Indonesia sejak 1995 terbentuk dengan berhasilnya Satelindo dan terutama Telkomsel mempengaruhi pasar dengan form teknologi GSM.
Sejak tahun 1995 sampai 2001 operator ponsel analog yang lebih berorientasi sebagai penjual pesawat ponsel mulai mengalami masa suramnya. Pada kenyataannya GSM kini diterapkan di 5 benua, disekitar 175 negara oleh sekitar 450 juta pelanggan yang merupakan 65 % dari populasi pengguna segala jenis teknologi seluler di dunia.
Perkembangan teknologi tidak pernah tertidur, sementara seluler berteknologi analog masih beroperasi dengan 72 juta penggunanya diseluruh dunia, teknologi digital GSM generasi 2 baik yang berfrekuensi 900, 1800 maupun 1900 sudah digelar.
Saat itu para pemasok infrastruktur terkemuka gencar mengkampanyekan GSM generasi 2,5 dalam kemasan GPRS ( General Packet Radio Service ) untuk ditingkatkan ke teknologi EDGE ( Enhanced Datarates for Global Evolution ).
Padahal tahun 2004, dipasaran akan hadir teknologi baru dengan sistem akses pita lebar berkecepatan tinggi ( WCDMA ). Spektrum frekuensinya juga berbeda, berupa sistem seluler generasi ke 3 (3G ).
Inilah hasil para pencipta teknologi dengan tujuan membentuk standar baru yang universal dan bersifat global dengan UMTS ( Universal Mobile Telephony System ).
Pasar Seluler Indonesia
Berbicara mengenai kekeatan pasar seluler di Indonesia adalah sesuatu yang amat menarik dengan berbagai permasalahan spesifik dan penuh misteri. Betapa tidak, didalam kondisi ekonomi yang begitu terpuruk, sentra ponsel Roxy Mas, Jakarta Pusat, tetap mampu menjual sekitar 25 ribu unit per bulan pada tahun 2000. Misteri lain adalah berapa besar sebenarnya daya beli pasar Indonesia untuk menyerap kapasitas dari operator seluluer ( GSM 900) yang sudah beroperasi dan pendatang ( GSM 1800 ) yang nekat akan segera masuk kedalam pasar yang sama.
Dari laporan yang ada, dikatakan bahwa jumlah pengguna telpon seluler di Indonesia tahun 2001 adalah sekitar 3,5 juta pelanggan ( prabayar dan pascabayar ). Telkomsel dengan 1,7 juta, satelindo 1,1 juta dan Excelcom 700 ribu pengguna, dan sisanya adalah pengguna dari 4 operator analog yang hidupnya sudah kembang kempis.
Terhadap populasi jumlah penduduk Indonesia, maka penetrasi tahun 2001 adalah sekitar 1,6% atau 16 pengguna per 1000 penduduk. Tapi komposisi, segmentasi dan penyebaran pengguna ponsel tersebut:
-Pertama, konsentrasi pengguna
adalah di kota-kota besar saja.
-Kedua, jumlah pemakai prabayar
lebih besar dari pelanggan
bulanan ( 65 % terhadap 35 % )
sedangkan dimancanegara
komposisisnya 30% prabayar
dan 70 % pelanggan.
-Ketiga, dikota besar itu sendiri
banyak sekali pengguna yang
memiliki lebih dari 1 nomor.
Bahkan ada pengguna yang
mengkoleksi lebih dari 20
nomor cantik yang nomornya
“amat bagus”.
Kenyataan lain adalah bahwa ARPU ( Average Revenue Per User ) seluler Indonesia masih tergolong rendah, dengan sekitar Rp 200 ribu pengguna per bulan.
Pada tahun 2001 ada paket prabayar yang ditawarkan salah satu operaror GSM dengan pulsa Rp 500 ribu amat sukar terjual dipasaran.
Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa daya beli dan daya bayar masayarakat pada umumnya belum pulih.
Bagaimana prospek Telkom Mobile ( TM ) dan Indosat M3 ( IM3 ) sebagai pendatang baru waktu itu?
Dari uraian diatas, jelas bahwa keberhasilan sebuah penyelenggara seluler dalam memenangkan kompetisi banyak ditentukan oleh kondisi pasar dan strategi operator tersebut dalam merebut pasar itu sendiri.
Jadi market direct bukan vendor driven apalagi regulatory driven.
Pada dasarnya GSM 1800 sama saja dengan GSM 900 kecuali alokasi spektrum. Ponselnya pun dibuat persis sama karena ponsel-ponsel GSM terbaru umumnya diproduksi dengan kemampuan dual band.
Untuk penggelaran dengan coverage foot print yang sama, operator GSM 1800 harus menyediakan jumlah lahan dan modal sekitar 125 % lebih besar karena perbedaan karakteristik frekuensi dan mengingat daya tembus terhadap koridor gedung dan pepohonan.
Bersaing di pasar lokal sama, dengan produk yang sama dengan platform teknologi yang sama, diwaktu yang bersamaan, dengan tarif yang praktis sama dan barangkali juga dengan model bisnis yang tidak banyak berbeda adalah sebuah fenomena yang unik dan berisiko tinggi terhdap kelanggengan investasi triliunan rupiah.
Kecenderungan pasar yang berorientasi pada mobilitas dan pita lebar untuk komunikasi multi media bergerak, telah merangsang gengsi pembuat keputusan untuk berinvestasi ketimbang mencegah terjadinya investasi ganda di sektor seluler yang padat teknologi dan padat modal ini.
Operator GSM 900 yang ada saat ini dengan lebar pita spektrum 7,5 Mhz sampai 10 Mhz adalah aset nasional yang amat berarti.
Terlebih lagi mereka telah dan akan mendapatkan tambahan spektrum di GSM 1800 sehingga lebar pita mereka akan menjadi 15 Mhz sama seperti yang dimiliki TM dan IM3.
Dengan disain dan perencanaan frekuensi yang mutakhir, satu operator GSM dual band dengan pita 15 Mhz akan mampu menampung sedikitnya 6 juta pengguna, apalagi bila sebagian besar penggunanya adalah pemakai prabayar saja.
Walaupun saat ini banyak masyarakat sudah memiliki telepon tetap yang pulsanya lebih murah dan dapat dinikmati seluruh keluarga, tetapi tetap saja tarifnya masih tinggi secara keseluruhan.
Ada juga operator ponsel yang targetnya adalah pelanggan potensial yang sekaligus menjual telepon genggam khusus pengguna operator itu sendiri.
Pesan UU Telekomunikasi No. 36/99 adalah kompetisi dan antimonopoli. Sementara UU No. 8/99 tentang anti monopoli adalah keberpihakan kepada pelanggan.
Disektor seluler dengan hadirnya 3 operator GSM kompetisi dan pilihan telah terjadi sejak tahun 1995.
Sudah terlalu banyak investasi yang sia-sia untuk sistim analog yang harus mati di Indonesia sementara sistim yang sama terus beroperasi dinegara-negara lain, bahkan di negara maju sekalipun. Haruskah terjadi pada operator lain?
Dalam keterbatasan dana untuk membangun negara dan membantu memajukan kehidupan masyarakat, efisiensi amatlah diperlukan. Mengoptimalkan dan mengembangkan sistim seluler yang telah kita miliki, barangkali adalah tindakan yang lebih bijak ketimbang menginvestasikan sesuatu yang baru dan merebut pasar dari yang dimiliki oleh operator yang ada.
Ketimbang mengikuti tawaran vendor pemasok yang tak pernah henti?
Tahun 2004 di Indonesiapun hadir 3G yang memerlukan investasi besar baik untuk lisensi maupun infrastruktur.
Di Inggris dan Jerman, satu lisensi 3 G harus dibayar sekitar US$7 miliar hingga US$ 8 miliar.
Dalam kurun waktu singkat ini kita berharap industri seluler dapat menabung dan jangan terjadi penghamburan dana untuk investasi ganda.
Bukankah Telkomsel bergabung dengan Telkom dan Satelindo menjadi milik Indosat? (Berbagai sumber)
(Apresiasi tulisan tentang telekomunikasi saat berkiprah dibidang ini - Pen)
BERSAING ANTAR SESAMA UNTUK BESAR BERSAMA
PRINGSEWU - LAMPUNG..COR PONDASI RAMPUNG, LANJUT TIM ERECTION DARI SUMEDANG...
INSTAL SHELTER DI TOWER SATELINDO BUKIT KEMILING, TJ.KARANG - LAMPUNG
TINGGAL TIANG PAGAR TEMBOK KELILING + BRC...
KOTABUMI - LAMPUNG